Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Bentuk Ketiga Cacing Pita Taenia Pada Babi | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

Bentuk Ketiga Cacing Pita Taenia Pada Babi

Nyoman Sadra Dharmawan dari Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana dalam suatu kesempatan menyatakan beberapa tahun terakhir ini, banyak laporan yang membahas kehadiran cacing pita baru, yaitu bentuk ketiga dari cacing pita Taenia.

Dari sumber di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana Bali, peneliti itu menyatakan bentuk ketiga dari cacing pita Taenia itu awalnya disebut sebagai Taenia taiwanensis. Namun, sekarang lebih dikenal dengan Taenia Asia atau Taenia asiatica, karena hanya ditemukan di beberapa negara di Asia. Bentuk ketiga cacing pita ini digambarkan sebagai peralihan dari dua cacing pita klasik yang telah dikenal sebelumnya, Taenia solium dan Taenia saginata.

Menurut sumber FKH Udayana itu, menurut definisi WHO (World Health Organization), cacing pita Taenia adalah parasit siklozoonosis yang dapat menular di antara hewan vertebrata dan manusia. Ada juga yang memasukkan pada kelompok cacing anthropozoonosis karena melihat fakta selain sebagai penyebar, manusia juga menjadi inang buntu (final host) dari parasit tersebuT

Dewasa ini, dilaporkan ada bentuk ketiga dari cacing pita Taenia. Semula dikenal dengan nama Taenia taiwanensis, karena pertama kali dilaporkan di Taiwan oleh seorang pioneer P.C. Fan. Dua bentuk cacing pita sebelumnya adalah cacing pita klasik Taenia saginata atau cacing pita daging sapi dan Taenia solium atau cacing pita daging babi.

Bentuk ketiga cacing pita baru Taenia tersebut, sekarang lebih dikenal dengan Taenia Asia atau Taenia asiatica. Disebut demikian, karena cacing pita ini hanya ditemukan di beberapa negara di Asia, seperti Taiwan, Korea, China (di beberapa propinsi), Indonesia (di Sumatera Utara), dan Vietnam.

Cacing pita ini, tampaknya merupakan bentuk peralihan dari T saginata dan T solium. Ito dan kawan-kawan menyebut sebagai kembaran dari T saginata. Sementara Bowles dan McManus cenderung memasukkan sebagai subspesies atau strain dari T saginata. Berdasarkan penelitian morfologi dan analisis genotif, parasit ini dinyatakan sebagai spesies tersendiri dan memiliki kedekatan hubungan dengan T saginata.


Mirip

Morfologi cacing dewasa T asiatica memang sangat mirip dengan T saginata yang klasik (T saginata). Namun, memiliki perbedaan pada beberapa aspek. Perbedaan yang paling esensial adalah pada daur hidup dan lokasi berparasit bentuk sistiserkusnya pada inang antara. Secara alami, inang antara T saginata adalah sapi dan lokasi berparasit sistiserkusnya pada otot.

Sementara T asiatica, inang antaranya babi, lokasi berparasit sistiserkusnya pada hati dan organ visceral lainnya. Di sisi lain T solium dapat mengakibatkan sistiserkosis pada manusia, tidak demikian halnya dengan T saginata dan T asiatica.

Mengingat cacing ini merupakan temuan relatif baru, studi tentang penyebaran dan tingkat kejadiannya pada masyarakat masih sedikiT Sejauh ini, dilaporkan T asiatica dan sistiserkusnya hanya ditemukan di beberapa negara di kawasan Asia. Hal ini, ada yang menghubungkan dengan kebiasaan makan (eating habbits) masyarakat Asia, setidaknya di beberapa wilayah yang masyarakatnya gemar mengkonsumsi daging babi dan organ visceral atau jeroan yang tidak dimasak.


Daur Hidup

Peneliti FKH Udayana Bali itu menyatakan, daur hidup T asiatica tidak langsung, membutuhkan satu inang antara. Dari beberapa hasil penelitian eksperimental pada ternak dan manusia (sukarelawan) yang dilakukan secara terpisah-pisah, daur hidup cacing pita ini dapat dirangkaikan pada hari ke 14 pasca inokulasi, ditemukan sistiserkus muda berupa bintik-bintik kecil yang tumbuh pada hati.

Pada hari ke 21 ditemukan kista imatur yang telah memiliki rostellum dan sucker. Kait rudimenter dan adanya pergerakan aktif kista yang matur teramati pada hari ke 28.

Diagnosis terhadap adanya infeksi T asiatica dan sistiserkusnya, dapat dilakukan dengan menggunakan teknik yang telah umum dipakai mendeteksi Taenia. Untuk menemukan sistiserkus T asiatica dapat dilakukan dengan pengamatan visual lewat prosedur pemeriksaan kesehatan daging babi. Pemeriksaan ini dilakukan post-mortum terutama pada hati dan organ visceral lainnya.

Teknik diagnostik yang sekarang dikembangkan dan cocok untuk mendeteksi kista T asiatica secara ante-mortum adalah pemeriksaan serologis. Uji serologis dapat memberi arti praktis dan spesifik. Dari hasil ekperimen untuk mengetahui adanya sistiserkosis pada babi dengan menggunakan ELISA, dilaporkan bahwa antibodi akan terdeteksi tiga minggu pasca infeksi.

“Walaupun demikian, teknik ini bukan berarti tidak memiliki kelemahan, karena pada umumnya uji serologis sering menunjukkan variasi keakuratan yang lebar,” katanya.

Selanjutnya, usaha-usaha untuk meningkatkan sensitivitas uji ELISA telah diupayakan oleh beberapa pakar, namun spesifitasnya masih tetap merupakan suatu problem tersendiri. Rendahnya spesifisitas uji serodiagnosis umumnya sering berasal dari penggunaan antigen kasar. Karena itu pemurnian antigen merupakan salah satu langkah untuk mengatasi problem tersebuT

Seperti halnya untuk diagnosis pada taeniasis intestinal lainnya, diagnosis pasti terhadap spesies T asiatica tergantung dari identifikasi parasitnya. Dengan cara identifikasi ini, akan diketahui sifat-sifat atau ciri khas yang biasanya ada pada proglottid, telur atau scolexnya.

Menurut Eom dan Rim sedikitnya ada empat ciri khas yang menonjol yang dapat digunakan sebagai indikator morfologi T asiatica, terutama bila dibandingkan dengan T saginata klasik. Keempat ciri tersebut adalah:

1) adanya rostellum pada scolex

2) adanya tonjolan pada posterior proglottid gravid

3) banyaknya jumlah ranting uterus

4) adanya bentukan kutil pada permukaan gelembung sistiserkusnya.

Metode pemeriksaan DNA merupakan teknik diagnostik yang lebih akurat dan kini banyak digunakan untuk membedakan spesies T asiatica dengan spesies Taenia lainnya.

Beberapa peneliti yang telah berhasil mendeteksi karakteristik T asiatica dengan menggunakan Cloned Ribosomal DNA Fragments dan melihat sekuen amplifikasi menggunakan reaksi rantai polymerase di antaranya adalah Zarlenga, Bowles dan McManus.

Teknik diagnostik molekuler dan serologis (imunodiagnosis) terhadap taeniasis dan sistiserkosis secara umum, juga dilaporkan peneliti lainnya. Teknik tersebut dapat digunakan untuk mendiagnosis T asiatica.


Pencegahan dan Pengobatan

Nyoman Sadra Dharmawan menyatakan, tindakan pencegahan dan pengobatan terhadap taeniasis akibat T asiatica, hampir sama dengan pencegahan dan pengobatan pada penderita T saginata klasik.

Upaya pencegahan dapat dilakukan seperti pencegahan terhadap taeniasis akibat T saginata dan T solium. Tindakan pencegahan tersebut pada prinsipnya terdiri atas:

(1) menghilangkan sumber infeksi dengan mengobati orang yang mengandung parasit, dan mencegah kontaminasi tanah dengan feses manusia;

(2) pemeriksaan hati dan organ visceral babi terhadap adanya sistiserkus;

(3) memasak hati babi bila akan dikonsumsi. Penyebaran penyakit dapat pula ditekan lewat jalur pendidikan, kontrol melalui program-program kesehatan masyarakat dan kesehatan masyarakat veteriner

Terungkapnya bentuk ketiga cacing pita Taenia ini, menurut Nyoman Sadra Dharmawan sekaligus menjawab pertanyaan yang menjadi teka-teki mengenai fenomena taeniasis di Asia.

Fenomena yang dimaksud adalah kondisi paradoksal yang memperlihatkan dominannya kasus taeniasis di beberapa wilayah di Asia, yang diduga akibat infeksi cacing pita daging sapi (T saginata), namun terjadi pada masyarakat yang lebih suka mengkonsumsi daging babi.

Dari uraian di depan, Nyoman Sadra Dharmawan menyimpulkan pada fenomena di atas, ternyata cacing pita yang menginfeksi bukan T saginata, melainkan T asiatica. Sistiserkusnya (C. viscerotropica) berparasit pada hati babi dan morfologi cacing dewasanya memang sulit dibedakan dengan T saginata.

Mengakhiri uraian ini, peneliti mengungkapkan, bahwa kemungkinan T asiatica juga dapat menyebabkan sistiserkosis pada manusia, masih diperdebatkan dan dianjurkan untuk diteliti lebih lanjuT Belum ada cukup bukti yang menunjukkan T asiatica dapat berkembang dan menyebabkan sistiserkosis pada manusia.

Namun, katanya, “Langkah yang bijak selain meningkatkan kewaspadaan dan upaya pencegahan, adalah melakukan penelitian untuk mengungkap keberadaan T asiatica secara lengkap dan menyeluruh.” (Infovet/ Sumber FKH Udayana)

Related Posts

1 Comments:

  1. kok tambah mengerikan ya...
    cacing parasitnya nambah lg...
    hiiii....jd takut...
    >.<

    BalasHapus

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer