Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini PENYAKIT 2006, KEBANGKRUTAN, PEMBERANTASAN DAN KESERIUSAN | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

PENYAKIT 2006, KEBANGKRUTAN, PEMBERANTASAN DAN KESERIUSAN

(( Penyakit-penyakit itu jelas merugikan dan membangkrutkan dunia peternakan serta bahkan juga memungkinkan manusia tertular. Ada yang dapat menyebabkan kerugian langsung yang dapat dilihat dan dirasakan. Tetapi, yang lebih mengkhawatirkan adalah kerugian yang tidak dapat dilihat secara langsung meskipun penyakit tersebut sebenarnya sangat membahayakan keberlangsungan hidup dunia para petani peternak. ))

Bukan sembarang flu burung tetapi silent flu burung yang sebenarnya benar-benar nge-trend di tahun 2006. Demikian Mantan Direktur Jenderal Peternakan yang Guru Besar FKH UGM Prof Drh Wasito MSc PhD.
Seperti diketahui, katanya, bahwa flu burung pada unggas dianggap ada 2 bentuk, yaitu low pathogenic avian influenza (LPAI) dan highly pathogenic avian influenza (HPAI). LPAI (hanya) akan menyerang saluran pernafasan dan saluran pencernaan, sedangkan HPAI selain menyerang saluran pernafasan dan saluran pencernaan juga akan menyerang organ-organ lain ayam penderita, misalnya otot-daging dan folikel telur.
“Hasil penelitian kami di lapangan sejak 2003 sampai saat ini (2006), membuktikan bahwa sebenarnya flu burung yang bentuknya berbeda dengan LPAI dan HPAI mendominasi wabah pada unggas di Indonesia setelah kejadian wabah HPAI di penghujung tahun 2003 dan juga wabah HPAI pada unggas di Makassar (terutama Sidrap) sekitar awal tahun 2005,” tutur ilmuwan yang mantan orang nomor satu di sub sektor peternakan di negeri ini.
Menurut Dr Wasito, Flu burung pada unggas yang kita sebut dengan nama silent flu burung inilah sebenarnya yang nge-trend di tahun 2006. “Mengapa demikian?” tanyanya seraya menjawab, “Karena unggas penderita silent flu burung, pada umumnya, tidak menunjukkan gejala klinis dan lesi patolologis anatomis, dan uji serologis deteksi antibodinya negatif, tetapi dalam tubuhnya ada virus flu burung (H5N1) (dengan uji reverse transcriptase polymerase chain reaction (RT-PCR), dan imunohistokemistri antibodi monoklonal anti nukleoprotein flu burung.”
Selain itu, lanjutnya, seringkali, unggas penderita silent flu burung menunjukkan gejala klinis seperti Newcastle disease (ND), yaitu curled toe paralysis (lumpuh jari kaki) dan torticolis (kepala “teler” digerak-gerakkan miring ke kanan dan ke kiri tidak beraturan. Dan, pada saat nekropsi, terlihat adanya lesi patologis anatomis berupa pembengkakan dan perdarahan di bagian brutu (bursa Fabricius) dan otot daging di bagian paha dan tempat-tempat lain.
Hal tersebut, paparnya, akan sangat membingungkan dan pada umumnya, unggas penderita langsung di-punish dengan diagnosa infectious bursal diasease (bursitis atau IBD), Newcastle disease (ND) atau bahkan langsung didiagnosa infeksi kombinasi antara IBD dan ND.
Celakanya lagi, ungkap Wasito, di bawah mikroskop, pada otak akan terlihat lesi histopatologis menciri akibat infeksi virus, yaitu lymphoid perivascular cuffing. Kriteria utama dalam penentuan diagnosa apakah ayam menderita silent flu burung atau tidak, yang kita lakukan adalah dengan uji imunokemistri jaringan.
Sehingga, solusi diberikan Doktor lulusan Amerika ini, penanganan flu burung tidak mudah, diperlukan terutama dokter hewan yang benar-benar punya “jam terbang” kerja riset lapangan dan laboratorik yang memadai, jika tidak demikian, maka usaha kontrol dan pengendalian, termasuk pencegahan, dan pemberantasan flu burung dapat berakibat tidak hanya gagal, tetapi juga fatal pada unggas dan manusia.
Adapun lanjutnya, selain silent flu burung, brucellosis, IBR, SE, rabies, anthrax yang nge-trend didasarkan pada kasus-kasus wabah di lapangan tahun 2006. Sebenanrnya, jika dilakukan pemeriksaan yang lebih rinci dan benar, kemungkinan besar akan diketahui adanya penyakit-penyakit infeksi tersembunyi, metabolik dan eksotik di era perdagangan global saat ini.
Adapun menurut Dr drh I Wayan Teguh Wibawan MS, Wakil Dekan FKH IPB, Bogor selain Flu Burung, penyakit apa lagi yang nge-trend di tahun 2006 dan selanjutnya perlu diwaspadai adalah penyakit pernapasan, jika yang dimaksud penyakit pada unggas, seperti CRD, Snot, Swollen Head Syndrome, kolibasilosis, koksidiosis dan Gumboro (very virulent Gumboro virus).
Adapun menurut Dr Wayan yang beken di televisi dalam kampanye penanggulangan Flu Burung, pada hewan mamalia, khususnya pemamah biak, anthrax perlu diwaspadai. Pada carnivora adalah Rabies.
Sedangkan dari Prof drh Roostita jga dari FKH IPB menyatakan di tahun 2006 yang paling dominan adalah Flu burung sebab secara global yang banyak disorot dan ditakuti masyarakat. Sedangkan kasus penyakit yang lain sudah banyak yang menurun seperti, Brucellosis, Rabies, Anthrax dll.

Sukar Diberantas?

Menjawab pertanyaan Infovet kenapa penyakit-penyakit itu susah diberantas, Prof Wasito menyatakan hal ini karena:
a) Koordinasi dan penanganan penyakit tampak masih sepotong-potong.
b) Kurang mengikut-sertakan dan mengoptimalkan, terutama organ-organ pemerintah yang terkait (yang seharusnya menangani permasalahan penyakit) dan nukleus industri peternakan, serta petani peternak
c) Kebijakan dan penerapannya belum atau kurang didasarkan pada aras kajian ilmiah keilmuan yang mendasari individual penyakit
d) Lemahnya koordinasi di pusat pemerintahan, apalagi penerapannya di lapangan.
e) Otonomi daerah kurang diberdayakan
f) Dana yang ada kurang dimanfaatkan secara tepat guna (masih digunakan untuk hal-hal yang bersifat umum). Pengadaan peralatan disama-ratakan di semua laboratorium yang ada.
g) Laboratorium-laboratorium yang ada belum difungsikan secara spesifik, khusus dan optimal. (Sebenarnya sudah ada laboratorium rujukan dengan fasilitas dan aktivitas khusus menciri, tetapi tampaknya kurang diperhatikan kinerjanya).
h) Tumpang tidih tugas pokok dan fungsi laboratorium yang menangani penyakit hewan dan ternak tampaknya semakin banyak terjadi (karena kebijakan, terutama pemenuhan kelengkapan fasilitas penunjang laboratorium yang tidak terarah dan kurang didasari landasan ilmiah otonomi daerah penyakit spesifik indigenous)
i) Fasilitas pendukung penanganan penyakit hewan dan ternak di-daerah (baca: di desa-desa) sangat jauh dari cukup, apalagi memadai. (Padahal, desa merupakan tempat asal penunjang utama segala macam aspek kehidupan masyarakat jika kita benar-benar menginginkan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang gemah ripah loh jinawi lan nir ing sambikolo .
Menjawab pertanyaan yang sama, kenapa penyakit-penyakit itu susah diberantas, Dr drh I Wayan Teguh Wibawan MS berpendapat bisa jadi masih merupakan penyakit yang biasa terjadi setiap tahun, karena penyakit-penyakit ini berkaitan dengan cara pemeliharaan yang bersifat intensif, sering peternak tidak taat azas terhadap prinsip dasar manajemen kesehatan. Misalnya memperpendek masa istirahat kandang, masih bayak ternak yang berbeda umur di suatu area peternakan, biosekuriti yang lemah dan memang ada beberapa mikroba yang tahan di lingkungan seperti E. coli, virus Gumboro dan Eimeria.
Adapun Prof drh Roostita menyampaikan penyakit-penyakit itu sulit diberantas karena penangangan tidak tuntas dan menyeluruh. Hanya bila ada kasus saja baru semua ramai2 menangani, bila kasus reda maka penangangan juga agak lambat kembali. Atau kemungkinan dari sektor peternakan tidak cukup dana untuk menangani secara tuntas di bandingkan dengan dari dari sektor kesehatan manusia. Tapi jangan lupa bahwa asal dari penykit adalah dari hewan, seharusnya harus proposional.

Kebangkrutan?
Menjawab pertanyaan apakah penyakit-penyakit itu menyebabkan kebangkrutan di dunia peternakan, Prof Wasito berpendapat jelas merugikan dan membangkrutkan dunia peternakan (dan bahkan juga memungkinkan manusia tertular). Ada yang dapat menyebabkan kerugian langsung yang dapat dilihat dan dirasakan.
Tetapi, tambah Wasito, yang lebih mengkhawatirkan adalah kerugian yang tidak dapat dilihat secara langsung meskipun penyakit tersebut sebenarnya sangat membahayakan keberlangsungan hidup dunia para petani peternak (misalnya silent flu burung pada unggas, dan IBR dan brucellosis yang diakibatkan oleh infeksi tersembunyi imunosupresif diare ganas pada sapi atau bovine viral diarrhea virus/BVDV).
Lalu, katanya, “Hasil penelitian kami dengan uji immunoperoxidase monolayer assay in vitro membuktikan, bahwa di Indonesia pada sapi perah sekitar 70-90% dan sapi potong sekitar 7-15% terinfeksi BVDV, sapi-sapi tersebut tampak normal sehat, tetapi siap menyebarkan virus ke sapi-sapi lain yang peka. Sapi-sapi penderita tersebut menjadi imunosupresif sehingga tidak aneh banyak sapi di Indonesia yang terserang IBR dan/atau brucellosis.”
Selain penyakit yang telah disebutkan di atas, tambah Wasito, penyakit mulut dan kuku, dan BSE jika masuk ke Indonesia akan sangat melumpuhkan pemberdayaan masyarakat petani peternak papa (miskin) dan marginal dan juga prekonomian secara luas. Akibat selanjutnya, jika penyakit pada hewan ternak tidak segera ditanggulangi secara serius dan benar dapat berakibat gizi buruk berkelanjutan akibat kurangnya asupan konsumsi pangan protein hewani sehingga tidak mustahil akan mengarah pada lost of generation anak bangsa.
Demikian juga penyakit pada manusia, misalnya demam berdarah, polio, “TBC dan malaria akan juga semakin susah ditanggulangi karena antibodi spesifik terhadap penyakit-penyakit yang dimaksud tidak dapat terbentuk optimal di dalam tubuh manusia penderitanya yang salah satunya akibat utamanya adalah rendahnya konsumsi pangan protein hewani masyarakat,” pendapat Wasito.
Menurut Mantan Dekan FKH UGM ini, landasan ilmiah penyakit belum atau kurang dikuasai oleh penentu kebijakan selama ini sehingga penerapan penanganan wabah penyakit hewan ternak di lapangan kurang optimal dan penyakit masih tetap saja meraja-lela menelan korban.
Adapun tentang pertanyaan yang sama, apakah penyakit-penyakit itu menyebabkan kebangkrutan di dunia peternakan, Dr I Wayan Teguh Wibawan menyampaikan, secara umum masih bisa dikendalikan, jadi tidak akan menyebabkan suatu hal katastropik bagi peternakan di Indonesia.
Sedangkan Prof drh Roostita menyampaikan apabila pemberitaan di media masa tidak proposional maka masyarakat akan takut dan enggan mengkonsumsi daging ayam, beternak ayam dan tentunya pengusaha peternakan ayam akan banyak merugi.

Keseriusan

Menjawab pertanyaan Infovet apakah langkah-langkah yang dilakukan dalam memberantas penyakit itu tidak maksimal dan tidak serius, Prof Wasito menyampaikan, tampaknya, maunya sih serius dan maksimal. Tetapi, lagi-lagi kendalanya adalah terutama landasan kajian ilmiah tentang penyakit yang kurang benar sehingga pelaksanaan tindak nyata di lapangan menjadi tidak terarah. Pemberdayaan dan keterlibatan instansi terkait belum optimal, apalagi maksimal.
Selain itu, tambahnya, sumber daya manusia yang kerja di lapangan dan penentu kebijakan tampaknya belum (kurang) menguasai penyakit-penyakit dimaksud. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah kurangnya dukungan dari setiap lapisan masyarakat.
Selain itu, tambahnya, terlihat kurangnya koordinasi antar organ-organ pemerintah pusat itu sendiri, ditambah lagi, kurangnya koordinasi berkinerja positif antara pemerintah pusat dan daerah. Pemerintah pusat, seharusnya, terjun langsung ke daerah-daerah (desa-desa) bersinergisme dengan petugas lapangan di daerah (desa).
Akibat itu semuanya, kata Wasito, yang selalu kita jumpai sehari-hari, jika ada kasus wabah penyakit tertentu, kita ramai-ramai rapat/konferensi/workshop dll sejenisnya, pembentukan berbagai tim, tetapi penyakit tetap saja tidak tertangani secara tuntas dan bahkan menjadi lebih mewabah.
Afapun soal apakah langkah-langkah yang dilakukan pemerintah dalam memberantas penyakit itu tidak maksimal dan tidak serius, Dr drh I Wayan Teguh Wibawan berpendapat bukan pemerintah, tapi masyarakat peternak yang harus kita tingkatkan kemauan dan kemampuannya dalam penanggulangan penyakit ini.
Andil pemerintah, katanya, adalah di dalam memastikan bahwa ada virus dengan varian baru, misalnya virus vvIBD, apakah telah dilakukan kajian secara serius untuk menyatakan keberadaan virus ini. Maka perlu dukungan dari Balai Penelitian (Balitvet, BPPV) dan atau perguruan tinggi untuk melakukan identifikasi dan karakterisasi hingga ke tahap molekularnya.

Yang Perlu Dievaluasi

Menjawab pertanyaan Infovet apa yang perlu dievaluasi dalam penanganan penyakit yang terjadi di tahun 2006, Prof Wasito menyatakan:
a) Sumber daya manusia (SDM) (as a must.. the right man in the right position. Manusia yang tepat dan berdedikasi kinerja utama).
b) Peran langsung masyarakat (tampaknya, industri peternakan/perunggasan kurang didengar masukan-masukannya. Percaya diri pemerintah lebih kuat dan kurang mempertimbangkan sumbang saran masyarakat pecinta dan pemerhati kesehatan hewan dan peternakan)
c) Informasi (kasus/wabah) penyakit kepada publik/masyarakat (harus benar dan tepat disertai landasan ilmiah yang benar, jangan menyesatkan, dan sebaiknya disampaikan oleh pakar yang benar-benar menguasai permasalahan secara benar dan tepat. Sebaiknya, informasi yang disampaikan ke masyarakat luas mengandung (berisi) pernyataan-pernyataan dan gambar-gambar tentang arti penting positif, tidak perlu ditampilkan penyakitnya, yang justru berdampak menakut-nakuti masyarakat.
d) Pemberdayaan organ-organ pemerintah yang tugas pokok dan fungsinya bertanggung jawab terhadap kesehatan hewan (laboratorium-laboratorium penyakit hewan yang ada harus lebih diberdayakan kinerjanya secara optimal)
e) Sinergisme kinerja organ-organ pemerintah yang terkait satu sama lain dalam penanganan penyakit hewan (lebih ditingkatkan dan dioptimalkan koordinasi kerjanya di lapangan dan laboratorium. Saat ini, masih terlihat dominasi bertindak sendiri-sendiri).
f) Kebijakan dan penerapannya di lapangan dan laboratorium (harus lebih ditekankan pada acuan kajian ilmiah yang serius, benar dan tepat).
g) Dana (terutama untuk kelengkapan sarana dan prasarana laboratorium harus didasarkan kesesuaian pada arti penting fungsi laboratorium bersangkutan, terutama keterkaitannya dengan indigenous penyakit spesifik di masing-masing daerah/wilayah, sebaiknya tidak semua laboratorium diberi fasilitas peralatan yang serupa)
h) Biosurveillance dan metoda diagnosis (perlu dievaluasi ulang terutama keterkaitannya dengan penyakit-penyakit spesifik tertentu yang seharusnya didasarkan terutama pada identifikasi agen penyebab penyakit (antigen) dan vektor utama penyebabnya.
i) Kebijakan vaksinasi terhadap penyakit tertentu (arti pentingnya harus segera dikaji- ulang )
Sedangkan Dr drh I Wayan Teguh Wibawan MS menyatakan sangat perlu ada evaluasi yang sifatnya menyeluruh, dari kajian epidemiologi, serologi, mikrobiologi, tata laksana peternakan hingga kemungkinan restrukturisasi peternakan di semua sektor peternakan, sektor 1 hingga sektor 4. (Ardi Winangun)

Related Posts

0 Comments:

Posting Komentar

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer